Rabu, 10 Desember 2014

Makalah Menegemen


      I.            PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah Negara yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Bahkan jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang terbanyak diantara negara-negara di dunia sekarang ini. Dalam konteks politik, Indonesia mengalami kesulitan yang cukup serius dalam membangun hubungan politik antar Agama (Islam) dengan Negara. Hal ini juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya agama Islam, seperti Maroko, Aljazair, Libia, Pakistan, dan Turki. Hubungan politik antara Islam dan Negara di negara-negara tersebut ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan (Bahtiar Effendy, 1998:2).
Secara umum kesulitan hubungan tersebut dapat di lihat dalam dua perdebatan pokok. Pertama, kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam da nnegara baik dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara yang memberlakukan ajaran Islam. Kedua, kelompok yang menentang kaitan antara Islam dan negara dalam bentuk apapun. Konstruksi paradigma keagamaan yang berbeda tersebut dapat membentuk sistem aplikasi dalam konteks politik yang berbeda pula.

   II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Problematika Dakwah dalam Politik?
B.     Bagaimana Cara Menyelesaikan Problematika Dakwah dalam Politik?
III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Problemtika
Definisi problema/problematika adalah suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu. Jadi, problema adalah berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari individu Tuan Guru (faktor eksternal) maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.[1]
Problem dakwah itu terbagi ke dalam dua faktor intern dan faktor ekstren :
faktor intern cukup banyak, diantaranya :
a.       Banyaknya paham atau aliran yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
b.      Pengaruh adat istiadat yang sudah mendarah daging.
c.       Tingkat pengetahuan jama’ah yang tidak sama dalam suatu forum pengajian atau manjelis taklim.
d.      Banyaknya orang-orang munafik yang berselimutkan Islam. Bicaranya Islam, membicarakan perjuangan tapi hati dan tingkahlakunya tidak berbeda dengan orang kafir, kalau tidak dikatakan lebih jelek lagi.[2]
faktor ekstern hal ini mencakup diantaranya :
a.       Pengaruh budaya asing baik itu melalui film, video, maupun dengan perantara orang asing itu sendiri yang datang sebagai turis.
b.      Pengaruh Ideologi yang menjurus kepada mendiskreditkan Islam.
c.       Aparat atau penegak hukum yang sudah terlanjur alergi terhadap Islam.
d.      Peraturan dan undang-undang yang kurang mendukung terhadap kegiatan dakwah.[3]
B.     Problematika Dakwah dalam Politik
1.      Musyawarah dan Lembaga Permusyawaratan
Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah (Mohammad Koesnoe,1971:55). Tujuan Musyawarah tidaklah mencapai suatu kemenangan suatu golongan terhadap golongan lainnya, akan tetapi merupakan suatu jalan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam mengatasiatau memecahkan suatu masalah yang menyangkut kepentingam bersama
Prinsip musyawarah ini di Negara Republik Indonesia diterapkan pula pada tingkat Nasional yaitu melalui lembaga-lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Aplikasi dari prinsip ini berdasarkan UUD-45 khusus dalam pembukaannya dirumuskan dalam Pancasila yaitu pada sila keempat yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin olleh hikmat kebjaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan” (Badan Penataran P-4, 1981:11).
Sila keempqat dari Pancasila tersebut merupakan ajaran suatu pencerminan dari kebiasaan bermusyawarah menurut ajaran Islam, tumbuh dan berkembang sejak dahulu di dalam masyarakat Indonesia di pelosok tanah air. Prinsip dasar yang digunakan oleh MPR da dalam melaksanakan tugasnya itu adalah musyawarah. Pembahasan mengenai suatu masalah diforum MPR menuju pada titik-titik pertemuan dan sedapat mungkin perbedaan-perbedaan diolah menjadi suatu kesamaan pendapat yang menuju pada suatu kebulatan pendapat secara keseluruhan.[4]
Dari uraian di atas bahwa dalam kenyataannya, sebagian besar di Indonesia dalam memusyawarahkan sesuatu tidak untuk mencapai keputusan bersama tetapi untuk kemenangan suatu golongan tertentu, dan pendapat-pendapat dari golongan atau seseorang sering kali diabaikan. Dalam forum MPR dan DPR di pemerintahan ketika memusyawarahkan sesuatu sering kali terjadi perdepatan yang sangat hebat antara para DPR dan MPR, yang menyebabkan kerisuhan didalam forum tersebut. Para DPR hanya memihak dengan sesama partainya, masing-masing mereka membenarkan bahwa pendapat dari partainya lah yang paling benar. Pemungutan suara seringkali menjadi alternatif utama untuk mengambil keputusan dalam musyawarah yang menjadikan kemenangan suatu golongan mayoritas terhadapap golongan minoritas.
Adanya saling tidak menghargai pendapat golongan atau seseorang karena ketidaktahuan mereka tentang prinsip dasar musyawarah yang bersifat luwes yang berhubungan dengan suatu metode yang dikenal dalam hukum Islam yaitu dengan nama al-masalil al-mursalah yang diintrodusir oleh Imam Malik (S. Mahmassani, 1961:26 dan Maloolni H. Kerr, 1966 :80-86). Dan telah digariskan pula di dalam Al-Qur’an bahwa musyawarah adalah salah satu prinsip dasar di dalam ketatanegaraan Islam yang harus diwujudkan di dalam praktek kehidupan ber negara.
2.      Amanah dan Pertanggung Jawaban para Politik
Betapa pentingnya makna kekuasaan itu dapat dibaca dalam hadits Nabi yang menyatakan bahwa dosa yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa adalah dosa penguasa yang tidak adil dan pahala yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa adalah penguasa yang adil. Dengan demikian keadilan yang merupakan salah satu prinsip dasar konstitusional di dalam Islam merupakan tolak ukur, apakan amanah tersebut sudah dilaksanakan secara baik sesuai dengan keinginan dan kehendak Allah yang menitipkan kekuasaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya atau tidak. Sehubungan dengan itu di dalam ajaran Islam substansi kekuasaan tidak hanya mencangkup wewenang atau kewajiban saja, akan tetapi juga meliputi pertanggung jawaban.
Ajaran Islam telah meletakan lebih dahulu kewajiban-kewajiban kepada penguasa dan baru setelah itu wewenang serta hak-hak penguasa. Kalaupun ada pertanggung jawaban dari penguasa, pertanggung jawaban itu terbatas pada lembaga formal saja, misalnya Parlemen atau Senat. Disinilah letak karakteristik kekuasaan amanah ia juga merupakan pertanggung jawaban. Seharusnya mereka dalam menjalankan kekuasaan harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Muhammad Asad,1964:44),[5] agar para politik bisa menjalankan kekuasaannya dengan baik.
Dari penjelasan diatas dapat dianalisis bahwa kenyataannya para penguasa dalam politik banyak yang menyalah gunakan pertanggung jawabannya dan kekuasaannya untuk kepentingannnya sendiri. Bantuan dana yang seharusnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah digunakan oleh para pejabat politik untuk kepentingannya sendiri. Uang yang seharusnya untuk memperbaiki gedung-gedung sekolah yang rusak, perbaikan jalan di desa-desa terpencil, dan bantuan rakyak-rakyat miskin tidak sesuai dengan yang diberikan oleh pemerintah. Amanah yang diberikan dari pemerintah kapada para anggota politik tersebut tidak dipertanggung jawabkan dan dilaksanakan dengan baik.
Seharusnya para anggota politik tidak boleh dengan semena-mena menggunakan kekuasaannya dan seharusnya kekuasaan juga berfungsi sebagai alat untuk menegakan hukum-hukum Allah, sebagaimana yang telah digariskan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, meniadakan jurang antara golongan yang kaya dengan golongan yang miskin. Tapi kenyataannya orang yang bersalah dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum karena bisa ditebus dengan uang. Para anggota politik atau para pejabat yang seperti itulah yang kurang mendalami prinsip-prinsip dasar kekuasaan atau pertanggung jawaban yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul. Kejadian seperti inilah yang menjadikan rakyat Indonesia semakin miskin.
3.      Ulama dan Politik di Indonesia
Tidak jarang para ulama diminta ikut serta dalam sebuah kampanye untuk menyukseskan sebuah program pemerintahan, misalnya program Keluarga Berencana. Situasi ini sangat menyulitkan karena banyak ulama, walaupun resminya mendukung gagasan kontrasepsi secara pribadi masih punya beberapa keberatan. Upaya-upaya pemerintahan melibatkan ulama dalam program KB dan program lainnya untuk memperoleh legitimasi keagamaan sering menyebabkan ulama merasa kegelisahan moral meskipun perasaan itu tentu saja terkurangi dengan adanya berbagai kompetensi. walaupun tidak diminta mengatakan atau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinanmoralnya, para ulama kadang tetap merasa tidak enak jika berhubungan dengan pemerintahan.
Ada beberapa ulama yang merasa telah dapat mengatasi dilema yang inheren dalam hubungan ulama-ulama secara memuaskan. Banyak pula ulama yang merasa bahwa ada banyak hal berjalan tidak sesuai dengan mestinya, misalnya korupsi, kemiskinan, pakaian perempuan, pengaruh gereja, perjudian atau tidak adanya demokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi.[6] Kejadian yang seperti inilah yang membuat para masyarakat merasa kecewa terhadap para ulama karena melanggar moralitas.
C.    Penyelesaian Problematika Dakwah dalam Politik
Jika kemudian kita lakukan penelusuran dakwah Rasulullah SAW, seperti yang pernah dinyatakan Imam malik, bahwa “Tidak akan selamat dan berhasil perjuangan suatu umat kecuali dengan menempuh jalan-jalan yang telah terbukti keberhasilannya, sebagaimana yang telah ditempuh ummat sebelumnya (yang dipimpin oleh Rasulullah SAW)”. Maka secara sadar diperlukan penyegaran sistem dakwah, yang salah satunya itu adalah demokratisasi dakwah, karena mencakup
1.      Menitik beratkan pada gerakan moral.
2.      Menekankan pada gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan, yang bertujuan mencedaskan kehidupan bangsa dalam meningkatkan kualitas bangsa.
3.      Sebagai gerakan sosial untuk membangun kehidupan yang sejuk, anggun, harmonis dan damai.
4.      Sebagai gerakan ekonomi-bisnis untuk membangun kehidupan ekonomi yang sejahtera melalui peningkatan etos kerja yang kuat, peningkatan wawasan ekonomi dan mempunyai keterampilan manajemen Islam.
5.      Sebagai gerakan pembinaan bangsa, dengan mempunyai semangat kebangsaan yang tidak diragukan (sikap kenegarawanan).
6.      Sebagai pembinaan kesadaran beragama yang merupakan landasan etika sekaligus pedoman hidup bermasyarakat.
Dakwah dan politik pemecahan masalah dalam pengembangan masyarakat diharapkan menghasilakn tiga kondisi, yaitu pertama, Tumbuhnya kepercayaan dan kemandirian umat serta masyarakat sehingga berkembang sikap optimis, kedua Tumbuhnya kepercayaan terhadap aktifitas dakwah guna mencapai tujuan hidup yang lehih ideal, ketiga berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi, budaya, politik serta iptek sebagai landasan peningkatan kualitas hidup.
Ini berarti bahwa dakwah dan politk sebagai pemecahan masalah merupakan demokratisasi yang dapat memberikan konstribusi positif pada pengembangan kualias hidup sebagai bagian pemberdayaan menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia. Sangatlah beralasan kerja dinamis, dalam mengambil prakarsa secara mandiri dan kreatif sebagai langkah strategis yang diarahkan untuk memberdayakan umat dan masyarakat bagi kepentingan kemanusiaan dan bangsa. Disamping itu sejalan dengan berbagai persoalan kehidupan masyarakat di atas, perlu terus dikembangkan kesamaan cara pandang dan visi, agar pengembangan dakwah pemecahan masalah (dekokratisasi) dapat dipahami sebagai pelayanan kemanusiaan, sesuai fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semangat intelektual dan kemanusiaan harus terus dilakukan, sehingga penyegaran tersebut di atas, meliputi
1.      Pengkajian sumber asli Islam dengan menguasai ilmu alat, berupa bahasa dan alat bantu metodologi ijtihad dan ilmiah.
2.      Pengembangan semangat kemanusiaan dengan penelitian mengenai kecenderungan masyarakat dan berbagai masalah akibat pembangunan.
3.      Latihan kerja dan bimbingan rohani bagi lapisan masyarakat bawah.
4.      Kaderisasi serta peningkatan kualitas ekonomi para mubaligh.
5.      Peningkatan kualitas wawasan.
Pengelolaan pengembangan masyarakat dapat dilakukan dengan adanya peningkatan kemampuan kerja, yang tentunya dimiliki oleh seorang juru dakwah, yakni: Pertama, Kemampuan memahami sumber-sumber Islam. Kedua, kemampuan memahami kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik umat dan masyarakat. Ketiga, kemampuan mencermati perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dan, Keempat, perkembangan politik serta kemampuan mengelola sumber belajar dan potensi umat atau masyarakat.[7]
Jika melihat secara seksama maksud-maksud dakwah dan politik yang secara hakiki memiliki visi dan tujuan yang mengedepankan akan kenyamanan menikmati hidup dan kehidupan, sehingga namanya kebenaran dan keadilan segala berada digaris depan, maka mau tidak mau, yang harus diperhatikan tidak lain yaitu, Pertama, memunculkan kesadaran terhadap tanggungjawab dakwah dan politik, Kedua, memiliki kemampuan menggerakkan elit strategis, Ketiga, memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai mengenai berbagai kegiatan ekonomi setidaknya mampu menggerakan orang yang memiliki kemampuan demikian, Keempat, dapat dipercaya oleh masyarakat, Kelima, memiliki network planning dan mitra kerja yang luas, Keenam, memiliki daya kreatif terus mencari jalan bagaimana metode pendekatan, Ketujuh,, memiliki kepercayaan teguh bahwa Allah senantiasa memperhatikan tindakannya dan, kedelapan, secara ekonomis terlepas dari kemiskinan.
Kemudian pengembangan masyarakat melalui dakwah dan politik diperlukan penyediaan dana. Kalau kita telaah keberhasilan perjuangan dakwah Rasulullah SAW, tidak lepas dari penyediaan dana dakwah dan politik, dimana kehidupan para sahabat-sahabat beliau, seperti Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Siti Khadijah, dan lain sebagainya. Mereka tergolong mempunyai kehidupan yang mapan dan kaya, akan tetapi kekayaan yang dimiliki mereka dipergunakan untuk mengembangkan dakwah dan politik di dalam pengembangan masyarakat, sementara hidup mereka sangat sederhana.
Pada konteks dewasa ini, sudah saatnya bagi mereka yang mempunayi kelebihan dana diharapkan dapat menyisipkan sebagian hartanya untuk kepentingan dakwah dan politik dalam pengembangan masyarakat, sehingga apa yang dicitakan dapat terwujud secara nyata, yakni negeri yang makmur, adil dan sentosa yang diridhai Allah SWT.
IV.            KESIMPULAN
Problema adalah berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari individu Tuan Guru (faktor eksternal) maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.
Problematika Dakwah dalam Politik
1.      Musyawarah dan Lembaga Permusyawaratan
Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah (Mohammad Koesnoe,1971:55).
2.      Amanah dan Pertanggung Jawaban para Politik
Betapa pentingnya makna kekuasaan itu dapat dibaca dalam hadits Nabi yang menyatakan bahwa dosa yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa adalah dosa penguasa yang tidak adil dan pahala yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa adalah penguasa yang adil.
3.      Ulama dan Politik di Indonesia
Tidak jarang para ulama diminta ikut serta dalam sebuah kampanye untuk menyukseskan sebuah program pemerintahan, misalnya program Keluarga Berencana.

   V.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya buat, apabila ada kesalahan dalam pengetikan maupun dalam penyampaiannya. Saya mohon maaf, kritik dan sarannya saya butuhkan untuk memperbaiki dalam makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Ali Daud , dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta PT Bulan Bintang, 1989
Bruinessen Martin, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, 1998
Slamet, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Jakarta : Usaha Nasional, 1994
Syukir, Dasar-dasarStrategi Dakwah Islami, Surabaya : Al-Ikhlas, 1983
http://rifqi87.blogspot.com/2007/06/makalah-tentang-problematika-dakwah.html



[1] Syukir, Dasar-dasarStrategi Dakwah Islami, Surabaya : Al-Ikhlas, 1983, hal 65

[2] Slamet, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Jakarta : Usaha Nasional, 1994, hal 78
[3] Slamet, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Jakarta : Usaha Nasional, 1994, hal 80
[4] Daud Ali, dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta:PT Bulan Bintang, 1989, hal 93-100
[5] Daud Ali, dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta PT Bulan Bintang, 1989,hal116-118
[6] Martin Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, 1998, hal165-168,200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar