I.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan sebuah Negara yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Bahkan
jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang terbanyak diantara negara-negara
di dunia sekarang ini. Dalam konteks politik, Indonesia mengalami kesulitan
yang cukup serius dalam membangun hubungan politik antar Agama (Islam) dengan
Negara. Hal ini juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
agama Islam, seperti Maroko, Aljazair, Libia, Pakistan, dan Turki. Hubungan
politik antara Islam dan Negara di negara-negara tersebut ditandai oleh
ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan (Bahtiar Effendy,
1998:2).
Secara umum
kesulitan hubungan tersebut dapat di lihat dalam dua perdebatan pokok. Pertama,
kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam da nnegara baik
dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara yang
memberlakukan ajaran Islam. Kedua, kelompok yang menentang kaitan antara Islam
dan negara dalam bentuk apapun. Konstruksi paradigma keagamaan yang berbeda
tersebut dapat membentuk sistem aplikasi dalam konteks politik yang berbeda
pula.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Problematika Dakwah dalam Politik?
B.
Bagaimana Cara Menyelesaikan Problematika Dakwah dalam Politik?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Problemtika
Definisi problema/problematika adalah suatu kesenjangan antara harapan
dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau
dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu. Jadi, problema adalah
berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan,
baik yang datang dari individu Tuan Guru (faktor eksternal) maupun dalam upaya
pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.[1]
Problem dakwah
itu terbagi ke dalam dua faktor intern dan faktor ekstren :
faktor
intern cukup banyak, diantaranya :
a. Banyaknya
paham atau aliran yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
b. Pengaruh
adat istiadat yang sudah mendarah daging.
c. Tingkat
pengetahuan jama’ah yang tidak sama dalam suatu forum pengajian atau manjelis
taklim.
d. Banyaknya
orang-orang munafik yang berselimutkan Islam. Bicaranya Islam, membicarakan
perjuangan tapi hati dan tingkahlakunya tidak berbeda dengan orang kafir, kalau
tidak dikatakan lebih jelek lagi.[2]
faktor ekstern hal ini mencakup
diantaranya :
a. Pengaruh
budaya asing baik itu melalui film, video, maupun dengan perantara orang asing
itu sendiri yang datang sebagai turis.
b. Pengaruh
Ideologi yang menjurus kepada mendiskreditkan Islam.
c. Aparat
atau penegak hukum yang sudah terlanjur alergi terhadap Islam.
d. Peraturan
dan undang-undang yang kurang mendukung terhadap kegiatan dakwah.[3]
B.
Problematika Dakwah dalam Politik
1.
Musyawarah dan Lembaga Permusyawaratan
Musyawarah
adalah pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai suatu keputusan sebagai
penyelesaian dari suatu masalah (Mohammad Koesnoe,1971:55). Tujuan Musyawarah
tidaklah mencapai suatu kemenangan suatu golongan terhadap golongan lainnya,
akan tetapi merupakan suatu jalan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam
mengatasiatau memecahkan suatu masalah yang menyangkut kepentingam bersama
Prinsip
musyawarah ini di Negara Republik Indonesia diterapkan pula pada tingkat
Nasional yaitu melalui lembaga-lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Aplikasi dari prinsip ini berdasarkan
UUD-45 khusus dalam pembukaannya dirumuskan dalam Pancasila yaitu pada sila
keempat yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin olleh hikmat kebjaksanaan dalam
permusyawaratan atau perwakilan” (Badan Penataran P-4, 1981:11).
Sila keempqat
dari Pancasila tersebut merupakan ajaran suatu pencerminan dari kebiasaan
bermusyawarah menurut ajaran Islam, tumbuh dan berkembang sejak dahulu di dalam
masyarakat Indonesia di pelosok tanah air. Prinsip dasar yang digunakan oleh
MPR da dalam melaksanakan tugasnya itu adalah musyawarah. Pembahasan mengenai
suatu masalah diforum MPR menuju pada titik-titik pertemuan dan sedapat mungkin
perbedaan-perbedaan diolah menjadi suatu kesamaan pendapat yang menuju pada
suatu kebulatan pendapat secara keseluruhan.[4]
Dari uraian di
atas bahwa dalam kenyataannya, sebagian besar di Indonesia dalam
memusyawarahkan sesuatu tidak untuk mencapai keputusan bersama tetapi untuk
kemenangan suatu golongan tertentu, dan pendapat-pendapat dari golongan atau
seseorang sering kali diabaikan. Dalam forum MPR dan DPR di pemerintahan ketika
memusyawarahkan sesuatu sering kali terjadi perdepatan yang sangat hebat antara
para DPR dan MPR, yang menyebabkan kerisuhan didalam forum tersebut. Para DPR
hanya memihak dengan sesama partainya, masing-masing mereka membenarkan bahwa
pendapat dari partainya lah yang paling benar. Pemungutan suara seringkali
menjadi alternatif utama untuk mengambil keputusan dalam musyawarah yang
menjadikan kemenangan suatu golongan mayoritas terhadapap golongan minoritas.
Adanya saling
tidak menghargai pendapat golongan atau seseorang karena ketidaktahuan mereka
tentang prinsip dasar musyawarah yang bersifat luwes yang berhubungan dengan
suatu metode yang dikenal dalam hukum Islam yaitu dengan nama al-masalil
al-mursalah yang diintrodusir oleh Imam Malik (S. Mahmassani, 1961:26 dan
Maloolni H. Kerr, 1966 :80-86). Dan telah digariskan pula di dalam Al-Qur’an
bahwa musyawarah adalah salah satu prinsip dasar di dalam ketatanegaraan Islam
yang harus diwujudkan di dalam praktek kehidupan ber negara.
2.
Amanah dan Pertanggung Jawaban para Politik
Betapa
pentingnya makna kekuasaan itu dapat dibaca dalam hadits Nabi yang menyatakan
bahwa dosa yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa adalah dosa penguasa
yang tidak adil dan pahala yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa
adalah penguasa yang adil. Dengan demikian keadilan yang merupakan salah satu
prinsip dasar konstitusional di dalam Islam merupakan tolak ukur, apakan amanah
tersebut sudah dilaksanakan secara baik sesuai dengan keinginan dan kehendak
Allah yang menitipkan kekuasaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya atau
tidak. Sehubungan dengan itu di dalam ajaran Islam substansi kekuasaan tidak
hanya mencangkup wewenang atau kewajiban saja, akan tetapi juga meliputi pertanggung
jawaban.
Ajaran Islam
telah meletakan lebih dahulu kewajiban-kewajiban kepada penguasa dan baru
setelah itu wewenang serta hak-hak penguasa. Kalaupun ada pertanggung jawaban
dari penguasa, pertanggung jawaban itu terbatas pada lembaga formal saja,
misalnya Parlemen atau Senat. Disinilah letak karakteristik kekuasaan amanah ia
juga merupakan pertanggung jawaban. Seharusnya mereka dalam menjalankan
kekuasaan harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Muhammad
Asad,1964:44),[5] agar para politik bisa menjalankan
kekuasaannya dengan baik.
Dari penjelasan diatas dapat dianalisis bahwa kenyataannya para penguasa
dalam politik banyak yang menyalah gunakan pertanggung jawabannya dan kekuasaannya
untuk kepentingannnya sendiri. Bantuan dana yang seharusnya untuk kepentingan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah digunakan oleh para pejabat
politik untuk kepentingannya sendiri. Uang yang seharusnya untuk memperbaiki
gedung-gedung sekolah yang rusak, perbaikan jalan di desa-desa terpencil, dan
bantuan rakyak-rakyat miskin tidak sesuai dengan yang diberikan oleh pemerintah.
Amanah yang diberikan dari pemerintah kapada para anggota politik tersebut
tidak dipertanggung jawabkan dan dilaksanakan dengan baik.
Seharusnya para anggota politik tidak boleh dengan semena-mena menggunakan
kekuasaannya dan seharusnya kekuasaan juga berfungsi sebagai alat untuk
menegakan hukum-hukum Allah, sebagaimana yang telah digariskan di dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul, meniadakan jurang antara golongan yang kaya dengan golongan
yang miskin. Tapi kenyataannya orang yang bersalah dengan mudahnya lolos dari
jeratan hukum karena bisa ditebus dengan uang. Para anggota politik atau para
pejabat yang seperti itulah yang kurang mendalami prinsip-prinsip dasar
kekuasaan atau pertanggung jawaban yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul. Kejadian
seperti inilah yang menjadikan rakyat Indonesia semakin miskin.
3.
Ulama dan Politik di Indonesia
Tidak jarang
para ulama diminta ikut serta dalam sebuah kampanye untuk menyukseskan sebuah
program pemerintahan, misalnya program Keluarga Berencana. Situasi ini sangat
menyulitkan karena banyak ulama, walaupun resminya mendukung gagasan
kontrasepsi secara pribadi masih punya beberapa keberatan. Upaya-upaya pemerintahan
melibatkan ulama dalam program KB dan program lainnya untuk memperoleh
legitimasi keagamaan sering menyebabkan ulama merasa kegelisahan moral meskipun
perasaan itu tentu saja terkurangi dengan adanya berbagai kompetensi. walaupun
tidak diminta mengatakan atau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
keyakinanmoralnya, para ulama kadang tetap merasa tidak enak jika berhubungan dengan
pemerintahan.
Ada beberapa
ulama yang merasa telah dapat mengatasi dilema yang inheren dalam hubungan
ulama-ulama secara memuaskan. Banyak pula ulama yang merasa bahwa ada banyak
hal berjalan tidak sesuai dengan mestinya, misalnya korupsi, kemiskinan,
pakaian perempuan, pengaruh gereja, perjudian atau tidak adanya demokrasi dalam
kehidupan politik dan ekonomi.[6] Kejadian yang seperti inilah yang membuat
para masyarakat merasa kecewa terhadap para ulama karena melanggar moralitas.
C.
Penyelesaian Problematika Dakwah dalam Politik
Jika
kemudian kita lakukan penelusuran dakwah Rasulullah SAW, seperti yang pernah
dinyatakan Imam malik, bahwa “Tidak akan selamat dan berhasil perjuangan suatu
umat kecuali dengan menempuh jalan-jalan yang telah terbukti keberhasilannya,
sebagaimana yang telah ditempuh ummat sebelumnya (yang dipimpin oleh Rasulullah
SAW)”. Maka secara sadar diperlukan penyegaran sistem dakwah, yang salah
satunya itu adalah demokratisasi dakwah, karena mencakup
1.
Menitik
beratkan pada gerakan moral.
2.
Menekankan
pada gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan, yang bertujuan mencedaskan
kehidupan bangsa dalam meningkatkan kualitas bangsa.
3.
Sebagai
gerakan sosial untuk membangun kehidupan yang sejuk, anggun, harmonis dan
damai.
4.
Sebagai
gerakan ekonomi-bisnis untuk membangun kehidupan ekonomi yang sejahtera melalui
peningkatan etos kerja yang kuat, peningkatan wawasan ekonomi dan mempunyai
keterampilan manajemen Islam.
5.
Sebagai
gerakan pembinaan bangsa, dengan mempunyai semangat kebangsaan yang tidak
diragukan (sikap kenegarawanan).
6.
Sebagai
pembinaan kesadaran beragama yang merupakan landasan etika sekaligus pedoman
hidup bermasyarakat.
Dakwah
dan politik pemecahan masalah dalam pengembangan masyarakat diharapkan
menghasilakn tiga kondisi, yaitu pertama, Tumbuhnya kepercayaan dan
kemandirian umat serta masyarakat sehingga berkembang sikap optimis, kedua
Tumbuhnya kepercayaan terhadap aktifitas dakwah guna mencapai tujuan hidup yang
lehih ideal, ketiga berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi, budaya,
politik serta iptek sebagai landasan peningkatan kualitas hidup.
Ini
berarti bahwa dakwah dan politk sebagai pemecahan masalah merupakan
demokratisasi yang dapat memberikan konstribusi positif pada pengembangan
kualias hidup sebagai bagian pemberdayaan menyelesaikan berbagai persoalan
hidup manusia. Sangatlah beralasan kerja dinamis, dalam mengambil prakarsa
secara mandiri dan kreatif sebagai langkah strategis yang diarahkan untuk
memberdayakan umat dan masyarakat bagi kepentingan kemanusiaan dan bangsa. Disamping
itu sejalan dengan berbagai persoalan kehidupan masyarakat di atas, perlu terus
dikembangkan kesamaan cara pandang dan visi, agar pengembangan dakwah pemecahan
masalah (dekokratisasi) dapat dipahami sebagai pelayanan kemanusiaan, sesuai
fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semangat
intelektual dan kemanusiaan harus terus dilakukan, sehingga penyegaran tersebut
di atas, meliputi
1.
Pengkajian
sumber asli Islam dengan menguasai ilmu alat, berupa bahasa dan alat bantu
metodologi ijtihad dan ilmiah.
2.
Pengembangan
semangat kemanusiaan dengan penelitian mengenai kecenderungan masyarakat dan
berbagai masalah akibat pembangunan.
3.
Latihan
kerja dan bimbingan rohani bagi lapisan masyarakat bawah.
4.
Kaderisasi
serta peningkatan kualitas ekonomi para mubaligh.
5.
Peningkatan
kualitas wawasan.
Pengelolaan
pengembangan masyarakat dapat dilakukan dengan adanya peningkatan kemampuan
kerja, yang tentunya dimiliki oleh seorang juru dakwah, yakni: Pertama,
Kemampuan memahami sumber-sumber Islam. Kedua, kemampuan memahami kondisi
sosial, budaya, ekonomi, politik umat dan masyarakat. Ketiga, kemampuan
mencermati perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dan, Keempat,
perkembangan politik serta kemampuan mengelola sumber belajar dan potensi umat
atau masyarakat.[7]
Jika
melihat secara seksama maksud-maksud dakwah dan politik yang secara hakiki
memiliki visi dan tujuan yang mengedepankan akan kenyamanan menikmati hidup dan
kehidupan, sehingga namanya kebenaran dan keadilan segala berada digaris depan,
maka mau tidak mau, yang harus diperhatikan tidak lain yaitu, Pertama,
memunculkan kesadaran terhadap tanggungjawab dakwah dan politik, Kedua,
memiliki kemampuan menggerakkan elit strategis, Ketiga, memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang memadai mengenai berbagai kegiatan ekonomi
setidaknya mampu menggerakan orang yang memiliki kemampuan demikian, Keempat,
dapat dipercaya oleh masyarakat, Kelima, memiliki network planning dan
mitra kerja yang luas, Keenam, memiliki daya kreatif terus mencari jalan
bagaimana metode pendekatan, Ketujuh,, memiliki kepercayaan teguh bahwa
Allah senantiasa memperhatikan tindakannya dan, kedelapan, secara
ekonomis terlepas dari kemiskinan.
Kemudian
pengembangan masyarakat melalui dakwah dan politik diperlukan penyediaan dana.
Kalau kita telaah keberhasilan perjuangan dakwah Rasulullah SAW, tidak lepas
dari penyediaan dana dakwah dan politik, dimana kehidupan para sahabat-sahabat
beliau, seperti Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Umar bin Khaththab, Ali
bin Abi Thalib, Siti Khadijah, dan lain sebagainya. Mereka tergolong mempunyai
kehidupan yang mapan dan kaya, akan tetapi kekayaan yang dimiliki mereka
dipergunakan untuk mengembangkan dakwah dan politik di dalam pengembangan
masyarakat, sementara hidup mereka sangat sederhana.
Pada
konteks dewasa ini, sudah saatnya bagi mereka yang mempunayi kelebihan dana
diharapkan dapat menyisipkan sebagian hartanya untuk kepentingan dakwah dan
politik dalam pengembangan masyarakat, sehingga apa yang dicitakan dapat
terwujud secara nyata, yakni negeri yang makmur, adil dan sentosa
yang diridhai Allah SWT.
IV.
KESIMPULAN
Problema
adalah berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses
pemberdayaan, baik yang datang dari individu Tuan Guru (faktor eksternal)
maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam
masyarakat.
Problematika Dakwah dalam Politik
1.
Musyawarah dan Lembaga Permusyawaratan
Musyawarah
adalah pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai suatu keputusan sebagai
penyelesaian dari suatu masalah (Mohammad Koesnoe,1971:55).
2.
Amanah dan Pertanggung Jawaban para Politik
Betapa
pentingnya makna kekuasaan itu dapat dibaca dalam hadits Nabi yang menyatakan
bahwa dosa yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa adalah dosa penguasa
yang tidak adil dan pahala yang terbesar yang akan diterima oleh penguasa
adalah penguasa yang adil.
3.
Ulama dan Politik di Indonesia
Tidak
jarang para ulama diminta ikut serta dalam sebuah kampanye untuk menyukseskan
sebuah program pemerintahan, misalnya program Keluarga Berencana.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya buat, apabila ada kesalahan dalam
pengetikan maupun dalam penyampaiannya. Saya mohon maaf, kritik dan sarannya
saya butuhkan untuk memperbaiki dalam makalah saya selanjutnya. Semoga makalah
ini bermanfaat untuk kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Ali Daud , dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan
Politik, Jakarta PT Bulan Bintang, 1989
Bruinessen Martin, Rakyat Kecil, Islam dan Politik,
Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, 1998
Slamet, Prinsip-prinsip
Metodologi Dakwah, Jakarta : Usaha Nasional, 1994
Syukir, Dasar-dasarStrategi
Dakwah Islami, Surabaya : Al-Ikhlas, 1983
http://rifqi87.blogspot.com/2007/06/makalah-tentang-problematika-dakwah.html
[4] Daud Ali, dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan
Politik, Jakarta:PT Bulan Bintang, 1989, hal 93-100
[5] Daud Ali, dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan
Politik, Jakarta PT Bulan Bintang, 1989,hal116-118
[6] Martin Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik,
Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, 1998, hal165-168,200
[7] http://rifqi87.blogspot.com/2007/06/makalah-tentang-problematika-dakwah.htmldiakses hari kamis pukul 22:17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar